Proses Pelepasan Pasung

PASUNG 'Hantu Gentayangan' Bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa
"Stop Stigma Negatif, Stop Pasung, ODGJ Itu Bisa Diobati Dan ODGJ Juga Bisa Pulih"
Tindakan pasung yang kerap kali diambil sebagai jalan pintas untuk menghadapi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) menimbulkan rasa keprihatinan.
Pasung merupakan sebuah rangka kayu yang dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher.
Di Indonesia, pasung adalah cara kuno masyarakat tradisional dalam menangani penderita sakit jiwa.
Dengan batang pohon yang telah dibelah, kedua kaki penderita jiwa diselonjorkan dan dibelenggu.
Metode pasung banyak dilakukan keluarga tidak mampu.
Pemasungan terjadi karena masih rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat tentang penyakit gangguan jiwa yang dialami oleh penyandang disabilitas mental.
Masalah Kesehatan memang masih minor di bicarakan.
Masyarakat justru lebih terbuka dengan organik seperti penyakit jantung, kanker atau paru-paru ketimbang masalah jiwa.
Padahal itu sama pentingnya.
Hal tersebut yang membikin orang jadi serba tertutup dan defensif soal kesehatan jiwa.
Masyarakat sulit terbuka membahas dan mencari solusi atas gangguan kesehatan jiwanya.
Tak jarang kita mendapati orang di pasung.
Keluarga enggan membawanya berobat ke dokter dan cenderung mengandalkan orang pintar.
Saat kondisi sudah semakin parah mereka lebih memilih mengurung atau memasungnya.
Itu dilakukan dengan alasan malu lantaran sakit jiwa di anggap aib.
Meski pemerintah melalui Kementrian Kesehatan berupaya menggalakan Indonesia bebas pasung.
Namun toh masih ada saja kasus pasung.
Masyarakat perlu di beri pemahamanPasien jiwa dapat di bantu.
Mereka biasanya akan mendapat perawatan lengkap dan pemberian obat-obatan.
Bila diminum teratur, ODGJ bisa pulih.
Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa :
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 14 pada tanggal 5 Januari 2018 oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Widodo Ekatjahjana.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa ditandtangani Nila Farid Moeloek, Menteri Kesehatan RI, pada tanggal 4 Desember 2017.
Penjelasan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
Latar Belakang

Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat, karena dilakukan pada orang dengan disabilitas yang mengakibatkan tidak mampu mengakses layanan yang dapat mengurangi tingkat disabilitasnya.
Tindakan pemasungan adalah “upaya pengikatan atau pengekangan fisik pada orang dengan gangguan jiwa dan orang agresif/“berbahaya“ di komunitas yang berakibat hilangnya kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat membantu pemulihan fungsi ODGJ tersebut.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, dari sekitar 400.000 orang dengan gangguan jiwa berat, satu di antara 7 ODGJ tersebut pernah mengalami pemasungan dan peluang pemasungan tersebut lebih besar pada kelompok yang tinggal di pedesaan atau berasal dari sosial ekonomi bawah.
Kedua fakta tersebut menggambarkan semakin jelas tentang faktor risiko terjadinya tindak pemasungan yang sebagian besar dilakukan oleh keluarga inti sebagai upaya perlindungan terhadap perilaku kekerasan yang berpotensi dilakukan oleh ODGJ akibat gejala yang dialami dan tidak dapat teratasi karena kesulitan akses dan keterjangkauan ke layanan kesehatan.
Hal ini tentu saja sangat memrihatinkan mengingat gejala tersebut sebagian besar dapat diatasi dengan tata laksana yang adekuat.

Tidak teraksesnya tata laksana yang adekuat menyebabkan tingginya angka pemasungan ODGJ di Indonesia. Gangguan jiwa yang tidak tertatalaksana dengan baik dapat mengakibatkan gejala semakin sulit untuk diatasi, gangguan menahun, dengan penurunan fungsi sosial dan okupasional yang semakin berat. Kondisi tersebut tentunya akan semakin mempertinggi beban keluarga secara ekonomi maupun waktu dan tenaga akibat perawatan yang harus dilakukan karena ketergantungan yang terjadi. Ketergantungan tersebut akan semakin meningkat akibat pemasungan yang dilakukan. Pemasungan lama berdampak pada timbulnya disabilitas fisik, penyakit fisik kronik akibat infeksi, malnutrisi, dan dehidrasi yang sering berujung pada kecacatan permanen dan kematian. Pemasungan juga mengakibatkan ODGJ semakin sulit untuk melakukan integrasi ke masyarakat akibat disabilitas secara sosial, ekonomi, spiritual, dan budaya. Kesemua jenis disabilitas ini tentu saja mengakibatkan beban yang sangat besar bagi individu, keluarga, masyarakat sekitar, dan negara. Stigma juga semakin besar terjadi bagi ODGJ maupun keluarganya yang berujung pada perlakuan salah termasuk penelantaran.

Menyadari bahwa pemasungan adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia pada kelompok rentan dengan faktor risiko yang sebenarnya dapat diturunkan risikonya sehingga tidak perlu mengakibatkan dampak dan beban yang besar terutama bagi ODGJ dan keluarganya, Kementerian Kesehatan mencanangkan program “Indonesia Bebas Pasung” tahun 2010 diperkuat dengan pencanangan program “Stop Pemasungan” oleh Kementerian Sosial pada tahun 2016.
Secara garis besar kedua program bertujuan untuk meningkatkan kapasitas semua pemangku kepentingan yang terlibat, meningkatkan akses ke layanan yang berkualitas di semua tingkat layanan, menyediakan skema pembiayaan yang memadai, terselenggaranya kerja sama dan koordinasi lintas sektor untuk menjamin terlaksananya berbagai bentuk upaya kesehatan jiwa, pengembangan rumah antara, dan terselenggaranya sistem pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan.
Berbagai aktivitas dan program telah diselenggarakan terutama oleh Kementerian Kesehatan, mulai dari penguatan dari sisi regulasi dan kebijakan, kapasitas sumber daya, pengembangan berbagai modalitas layanan, kerja sama lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk mencapai Indonesia benar-benar bebas dari berbagai praktik pemasungan.
Pencapaian yang berhasil didokumentasikan di antaranya:

1. Dilengkapinya berbagai peraturan perundang-undangan yang telahada sejak Undang-undang Dasar 1945, terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang disusul oleh berbagai rancangan peraturan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi dasar pengembangan yang sangat baik;
2. Meningkatnya jumlah provinsi yang memiliki regulasi lokal dan anggaran di bidang kesehatan jiwa;
3. Ditemukannya 8690 kasus pemasungan di berbagai provinsi di Indonesia sejak tahun 2009 dan 92% di antaranya telah mendapatkan tatalaksana medis;
4. Hampir 1500 orang dokter dan perawat serta 700 kader dari 15 provinsi di Indonesia telah mendapatkan peningkatan kapasitas lanjut tentang kesehatan jiwa dengan kurikulum yang lebih terstandar; dan
5. Peningkatan jenis obat gangguan jiwa yang tersedia dalam formularium nasional.
Namun demikian, semua perkembangan di atas dirasakan belumlah cukup.
Rasa belum cukup tersebut muncul dengan adanya berbagai fakta dan permasalahan yang masih ditemukan di lapangan baik yang berhubungan secara langsung dengan manajemen ODGJ maupun manajemen di bidang kesehatan jiwa secara menyeluruh. Permasalahan tersebut di antaranya meliputi:

1. Masih rendahnya implementasi dan daya ungkit dari regulasi dan kebijakan yang berlaku akibat dari rendahnya distribusi pengetahuan dan kemampuan advokasi dari berbagai pemangku kepentingan;
2. Syarat administrasi kependudukan dalam akses layanan kesehatan tidak terjangkau oleh ODGJ terlebih dalam kondisi terpasung, meskipun sumber pembiayaan kesehatan sudah tersedia;
3. Masih belum optimalnya tingkat kolaborasi antar sektor, antar program, antar ketenagaan akibat kurangnya sistem komunikasi dan koordinasi di antara pemegang program dan penyedia layanan sehingga layanan yang tersedia saat ini dirasakan masih terkotak- kotak dan sulit dijangkau oleh ODGJ dan keluarga;
4. Rendahnya pemberdayaan peran keluarga dan potensi masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan jiwa masyarakat akibat kurangnya pengetahuan dan tingginya stigma;
5. Rendahnya cakupan layanan kesehatan jiwa yang salah satu buktinya adalah masih tingginya angka kesenjangan pengobatan (treatment gap) di Indonesia;
6. Masih ditemukannya kasus pemasungan (termasuk pemasungan kembali) akibat terputusnya pengobatan;
7. Sistem rujukan dua arah yang juga belum berjalan dengan mulus (seamless) antar tingkat layanan;
8. Masih rendahnya pemanfaatan obat dan belum tersedianya obat untuk manajemen kedaruratan psikiatri sebagai alasan utama dilakukannya praktik pemasungan; dan
9. Belum adanya sistem informasi yang mantap dan terpadu sehingga proses pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan secara sinergis oleh berbagai pemangku kepentingan.

Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, diperlukan adanya sebuah pedoman yang akan membantu para pemangku kepentingan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya menuju satu tujuan bersama, yakni peningkatan mutu layanan bagi ODGJ untuk menjamin pemenuhan hak dan asasi bagi ODGJ dan keluarga.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
Tujuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa

1. Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa masih menjadi masalah kesehatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia;
2. Untuk mencapai Indonesia bebas pasung perlu dilakukan berbagai upaya penyelenggaraan penanggulangan pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa;
Dasar Hukum Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa

1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilties (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5251);
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
9. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871);
10. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2015- 2019 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 144);
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 231);
12.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1676);
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508);
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1223);
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1475);
Ketentuan Umum :
1. Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
2. Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
3. Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga atau masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas pelayanan kesehatan untuk membantu pemulihan.
4. Penanggulangan Pemasungan adalah upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi bagi ODGJ dalam rangka penghapusan Pemasungan.
5. Rehabilitasi adalah bagian dari rangkaian proses terapi untuk pemulihan ODGJ melalui pendekatan secara fisik, psikologis dan sosial.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
9. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Tujuan Pengaturan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ :
1. Menjamin pelayanan kesehatan bagi ODGJ berdasarkan hak asasi manusia;
2. Menjamin ODGJ mencapai kualitas hidup yang sebaik-baiknya dan menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan terhadap Pemasungan dan tekanan akibat Pemasungan; dan
3. Pemberikan acuan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menghapuskan Pemasungan pada ODGJ.
Penyelenggara Pengaturan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ secara komprehensif dan berkesinambungan untuk mencapai penghapusan Pemasungan. Penyelenggaraan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ melibatkan masyarakat dan dilaksanakan secara bersinergi dengan lintas program melalui pendekatan keluarga. (Pasal 3 Penyelenggaraan, ayat (1), (2) dan (3).

Pasal 4, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersinergi dengan lintas program melalui pendekatan keluarga melakukan Penanggulangan Pemasungan terhadap ODGJ, Keluarga dan Masyarakat melalui:

1. Pencegahan Pemasungan,
2. Penanganan Pemasungan,
3. Rehabilitasi.
Pencegahan Pemasungan :
Pencegahan Pemasungan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan ODGJ sehingga dapat berfungsi optimal baik bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat (Pasal 5), dilakukan melalui kegiatan:

1. Advokasi dan sosialisasi;
2. Fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
3. Penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan terjangkau;
4. Pemberian tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi maupun non medikasi; dan
5. Pengembangan layanan rawat harian (day care).
Penanganan Pemasungan :
Penanganan Pemasungan ditujukan untuk membebaskan ODGJ dari Pemasungan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan haknya. Penanganan Pemasungan dilakukan melalui kegiatan:
1. Advokasi dan sosialisasi;
2. Fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
3. Pemeriksaan dan tata laksana awal di komunitas;
5. Rujukan ke rumah sakit umum (RSU) atau rumah sakit jiwa (RSJ);
6. Kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home care);
7. Pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial) termasuk layanan rawat harian (day care); dan
8. Pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dan kader.
Rehabilitasi Pemasungan
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan:
1. Advokasi dan edukasi;
2. Fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
3. Penyediaan akses ke layanan kesehatan termasuk jaminan keberlanjutan terapi baik fisik maupun jiwa;
4. Tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi dan non medikasi;
5. Kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home care);
6. Rehabilitasi vokasional dan okupasional;
7. Fasilitasi ODGJ dalam memperoleh modal usaha mandiri atau lapangan pekerjaan;
8. Pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial) termasuk layanan rawat harian (day care);
9. Pengembangan kelompok bantu diri serta organisasi konsumen dan keluarga; dan
10. Fasilitasi proses kembali (reintegrasi) ke keluarga dan masyarakat.
Pedoman Kegiatan Penanganan, Pencegahan dan Rehabilitasi adal dalam Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa.
Tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10, disebutkan tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ.
Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat
1. Mendorong pelaksanaan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Membuat kebijakan dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif;
3. Melakukan koordinasi dan kerjasama antar kementerian/lembaga;
4. Melakukan advokasi dan bimbingan teknis kepada Pemerintah Daerah provinsi dalam mengimplementasikan kebijakan dan percepatan pencapaian tujuan Penanggulangan Pemasungan ODGJ;
5. Melakukan pemetaan terhadap masalah Pemasungan secara nasional;
6. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia bidang Kesehatan Jiwa di tingkat pusat dan provinsi;
7. Menjamin ketersediaan sarana dan prasarana termasuk obat dan alat kesehatan yang diperlukan secara nasional;
8. Menyediakan dukungan pembiayaan;
9. Mengembangkan sistem data dan informasi; dan
10. Melakukan pemantauan dan evaluasi.
Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi
1. Menetapkan kebijakan pelaksanaan Penanggulangan Pemasungan ODGJ dengan mengacu pada Peraturan Menteri;
2. Melakukan koordinasi dan jejaring kerja dengan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait serta melakukan kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat maupun akademisi yang relevan;
3. Melakukan advokasi dan bimbingan teknis kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan kebijakan dan percepatan pencapaian tujuan Penanggulangan Pemasungan ODGJ;
4. Melakukan pemetaan terhadap masalah Pemasungan pada lingkup provinsi;
5. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia bidang Kesehatan Jiwa di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;
6. Menjamin ketersediaan sarana dan prasarana termasuk obat dan alat kesehatan yang diperlukan di tingkat provinsi;
7. Menjamin ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat rujukan dalam melakukan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ sesuai dengan kemampuan;
8. Menyediakan dukungan pembiayaan;
9. Mengimplementasikan sistem data dan informasi; dan
10. Melakukan pemantauan dan evaluasi.
Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
1. Menetapkan kebijakan pelaksanaan Penanggulangan Pemasungan ODGJ dengan mengacu pada Peraturan Menteri ini;
2. Melakukan koordinasi dan jejaring kerja dengan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait serta melakukan kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat maupun akademisi yang relevan;
3. Melakukan bimbingan teknis kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam mengimplementasikan kebijakan dan percepatan pencapaian tujuan Penanggulangan Pemasungan ODGJ;
4. Melakukan pemetaan terhadap masalah Pemasungan pada lingkup kabupaten/kota;
5. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia bidang Kesehatan Jiwa di tingkat kabupaten/kota;
6. Menjamin ketersediaan sarana dan prasarana termasuk obat dan alat kesehatan yang diperlukan di tingkat kabupaten/kota;
7. Menjamin ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat primer dan rujukan dalam melakukan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ sesuai dengan kemampuan;
8. Menyediakan dukungan pembiayaan;
9. Mengimplementasikan sistem data dan informasi; dan
10. Melakukan pemantauan dan evaluasi.
Pencatatan dan Pelaporan
Pasal 12 menyebutkan bahwa setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan Penanggulangan Pemasungan secara berkala.
Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib mencatat dan melaporkan:
1. Identifikasi tindakan Pemasungan,
2. Proses Perawatan,
3. Tindak lanjut perawatan,
4. Hasil perawatan.
Pencatatan dan Pelaporan ditujukan kepada dinas kesehatan daerah kabupaten/kota setiap bulan. Kemudian Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota melakukan pelaporan yang Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke dinas kesehatan daerah provinsi setiap 3 (tiga) bulan sekali.

Dinas kesehatan daerah provinsi melakukan kompilasi pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dan melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta melaporkannya ke Menteri setiap 6 (enam) bulan sekali.

Dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya yang terkait Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan penanggulangan Pemasungan yang ditujukan untuk menilai keberhasilan program penanggulangan Pemasungan pada ODGJ.
Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
Bab VI Pasal 14 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa membahas tentang Peran serta masyarakat dalam Penanggulangan Pemasungan yang dilaksanakan melalui:
1. Keterlibatan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan;
2. Pemberian informasi, edukasi, dan bimbingan;
3. Pemberian dukungan dalam bentuk finansial, materiil, dan sosial;
4. Pembentukan dan pengembangan kelompok bantu diri serta organisasi konsumen dan keluarga; dan
6. Sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan teknis dan/atau pelaksanaan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ.
Pendanaan Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
Pasal 15 Bab VII Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa mengatur tentang Pendanaan Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa. Dijelaskan bahwa Pendanaan kegiatan Penanggulangan Pemasungan bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), masyarakat dan/atau sumber dana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan dan Pengawasan Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pembinaan dan pengawasan dapat melibatkan organisasi profesi dan/atau tenaga ahli di bidang Kesehatan Jiwa yang diarahkan untuk mencapai tujuan Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa.
Pembinaan dan Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa dilakukan dalam bentuk:
1. Advokasi dan Sosialisasi,
2. Bimbingan Teknis,
3. Pelatihan.
Pengawasan Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa dilakukan dalam bentuk:
1. Monitoring dan Evaluasi;
2. Verifikasi Laporan Kegiatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa
VIDEO PASUNG 'Hantu Gentayangan' Bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa
Kunjungi Sosial Media Kami Di :
Fanspage Klik : Fesbukers Indramayu
Instagram Klik Indramayu Channel
Twitter Klik Dharma Ayu
YouTube Klik INDRAMAYU CHANNEL
YouTube Klik Deddy Doank
YouTube Klik Dharma Ayu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PASUNG 'Hantu Gentayangan' Bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa

Tugu Gagak Winangsih Sukra Indramayu

Berokan Indramayu