Petilasan Sumur Santri Desa Loyang Cikedung Indramayu
Petilasan Sumur Santri Desa Loyang Cikedung Indramayu
Petilasan Sumur Santri terletak di Desa Loyang Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu.
Merupakan salah satu peninggalan sejarah atau situs ki kuwu sangkan atau yang begelar R.Walangsungsang dari cirebon Girang.
Yang keberadaannya dipelihara dengan baik sampai sekarang
Merupakan salah satu peninggalan sejarah atau situs ki kuwu sangkan atau yang begelar R.Walangsungsang dari cirebon Girang.
Yang keberadaannya dipelihara dengan baik sampai sekarang
Desa loyang adalah tempat kelahiran dari para sang jawara.
Loyang adalah Desa yang paling
sejuk dan nyaman karena di sana terdapat hutan yang sangat indah banyak
air-air yang mengalir bagaikan dilautan.
Di sebut kota santri karena di
sana penduduknya sebagian besar merupakan masyarakat lulusan pesantern
dan pada zaman dahulu kala sebelumnya banyak para tokoh pemuka agama
singgah di hutan kami yang di beri nama hutan sinang.
Dan sumur santri
merupakan tancaban tongkat dari santri yang sedang bersinggah untuk
beristirahat, tongkat tersebutt kemudian mengeluarkan air yang sangat
menyegarkan yang hingga saat ini air tersebut masih bisa di nikmati oleh
masyarakat setempat, dan mata air tersebut di jadikan sebagai sumur
santri, dan banyak di datangi oleh masyarakat luar guna mengambil air
tersebut
Penemuan sumber air ini pun menjadi sangat berharga bagi seluruh
pasukan Pakungwati dan setelah mendapat air, pasukan Pakungwati
melanjutkan pengejaran kembali ke selatan.
Pada saat pengejaran mereka
sampai ditepi sungai yang kering dan lebar didapati sebuah pohon Lo
yang besar. Pohon ini menjadi pemujaan penganut agama kesanghyangan.
Sang petapa tua yang bertapa dibawah pohon itu lenyap setelah Ki Ageng
Agrantaka menanyakan arah pelarian sisa pasukan Ki Dusta. Daerah ini
dikemudian hari dihuni penduduk dan diberi nama desa Lohyang, atau desa
Loyang. Nama yang diambil dari nama pohon Lo yang menjadi tempat
pemujaan ke Sang Hyang (ngehyang). Pohon Lo tersebut sekarang sudah tak
berbekas lagi.Ki Ageng Agrantaka terus membawa sisa pasukannya ke
selatan mengikuti sisa pasukan Ki Dusta sampai di pedalaman hutan yang
kering.
Ditengah hutan pun dalam pengejarannya pasukan Ki Ageng
Agrantaka selalu mencari sumber air baik kedung, cura atau menggali
sumur untuk minum, berwudlu atau mencuci perlengkapan perang mereka,
sekarang masih banyak terdapat sumur-sumur tua peninggalan pasukan Ki
Ageng Agrantaka salah satunya adalah Sumur Santri dan sebuah surau
kecil yang sudah direnovasi dan terawat dengan baik setelah dipakai
hujlah oleh santri-santri dari salah satu pesantren di kabupaten
Cirebon sekitar tahun 1980-an.
Sisa pasukan Ki Koang dan Ki Brangbang
yang terus mundur ke selatan kedalam hutan belantara menggunakan taktik
perang yang kadang muncul lalu menghilang laksana siluman (gerilya) maka Ki Ageng
Agrantaka menyebut mereka Si Nang dari bahasa jawa Indramayu yakni
Senang;nang : bocah atau anak kecil yang suka berlarian atau senang
main petak umpet) maka hutan tersebut dikenal sebagai hutan Sinang atau
sebagian orang menyebutnya hutan/alas Loyang karena dekat dengan desa
Loyang.
Akhirnya atas perintah pangeran Cakrabuana pengejaran
dihentikan setelah Ki Dusta sebagai pemimpin besarnya berhasil
dikalahkan oleh pangeran Cakrabuana ketika Ki Dusta sedang lelaku tapa
gantung tanpa menginjak tanah di hutan Sinang. Pangeran Cakrabuana
harus merubah diri menjadi seekor kijang emas dan matanya bercahaya
yang membuat Ki Dusta gagal dalam pertapaanya lalu menghilang entah
kemana.
Begitupun sisa pasukan Ki Koang dan Ki Brangbang pun tak lagi
bisa dikejar dan hilang entah kemana. Bahkan sampai sekarang ditengah
hutan Sinang terdapat situs dimana menurut keyakinan masyarakat
setempat menjadi tempat dulu pasukan Ki Dusta moksa, konon ditempat ini
dulu masih kerap terdengar alunan gamelan di malam hari, juga menurut
beberapa orang pernah melihat penamakan wanita cantik dengan kostum
jaman dulu yang menurut mereka adalah penjelmaan Nyai Dyahrengganis
putri Ki Dusta. Kini situs itu hanya tinggal segerombolan pohon yang
sangat besar dan tua diatas bukit yang dikepung tanaman industri tebu
kendati masih terasa aura mistisnya.
Situs ini diyakini pula sebagai
istana Ki Dusta dan rakyatnya. Konon pohon-pohon itu tak bisa ditebang
atau dirobohkan walau menggunakan buldozer sekalipun. Bahkan menjelang
petang penduduk setempat melarang keras siapapun berada disekitar
lokasi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah mendapat
perintah dari pangeran Cakrabuana sisa-sisa pasukan Pakungwati kembali
ke Cirebon dengan kegagalan (mungkin ini penyebab peristiwa perang di
desa Amis tidak dicatat dalam kitab-kitab sejarah tua, bukankah yang
menyusun kitab-kitab sejarah itu kalangan keraton, maka kisah yang
mengunggulkan pihak mereka sajalah yang dicatat, salah satu bentuk
sentralisasi informasi dijaman itu, data yang dihasilkan pun cenderung
berat sebelah dan cenderung mengkultuskan tokoh yang berkuasa saat itu
untuk membentuk opini publik).
Sisa pasukan Pakungwati ada yang
langsung kembali ke Cirebon melalui jalan pulang yang dirintis
sebelumnya dan ada pula yang bertahan seperti Ki Ageng Agrantaka yang
memilih menetap di barat laut hutan Sinang (sekarang desa Rajasinga
Kecamatan Terisi) dan menyebarkan agama Islam disana. Adapun sisa
prajurit yang kembali ke Cirebon satu persatu gugur diperjalanan pulang
seperti buyut Asiah di desa Cikedung, buyut Mancung di desa Jambak, buyut Inten di desa Tugu Lelea,
dan sebagainya
Sisa pasukan Pakungwati yang kembali ke Cirebon melalui
jalur Cikedung, Tugu, Widasari, Bulak, Sleman, Cangkingan,
Kedokanbunder dan seterusnya tidak pernah diketahui lagi beritanya dan
mungkin menjadi tokoh sejarah setempat dengan nama lain.
Daerah-daerah
bekas peperangan ini kemudian menjadi desa-desa, masyarakat
Cempakamulia yang beragama islam dan lepas dari pengaruh Ki Dusta
kemudian menjadi leluhur warga desa Amis dan Loyang.
Daerah-daerah
sekitarnya berkembang pun karena migrasi penduduk dari selatan
(Sumedang dan Majalengka) dan Indramayu timur karena daerah ini
memiliki daya tarik hutan heterogen dan tanah yang luas dan subur.
Pada
awal abad 18 Masehi daerah ini pernah menjadi basis perjuangan Ki Bagus
Rangin/Tubagus Rangin dari Bantarjati, Majalengka, bersama buyut Bagus
Arsidem (makamnya ada di Komplek Pemakaman Kuno Kesambi), Bagus
Arsitem/Buyut Sumber, Bagus Jabin, Bagus Perak, Bagus Kandar, Buyut
Urang/Pamayahan
dan lainya ketika tanah dikawasan itu dan sekitarnya disewakan ke
Kolonial Belanda
oleh sultan Kasepuhan yang pro penjajah sehingga masyarakat setempat
menjadi kuli yang diupah rendah bahkan tidak dibayar yang akhirnya
menjadi sebuah perang perlawanan yang dikenal dengan Perang
Cirebon/Perang Ki Bagus Rangin.
Buyut Bagus
Arsidem dan Buyut Bagus Arsitem/Buyut Sumber dianggap sebagai leluhur
oleh sebagian besar masyarakat Cikedung. Hanya sedikit yang mengaku
turunan Sumedanglarang atau wilayah lain.
Sumber : http://www.gspradio.com/2015/04/asal-usul-desa-loyang-sumur-santri-dan.html
Komentar
Posting Komentar